Karakteristik/Tradisi Suku Dayak (2)

Karakteristik/Tradisi Suku Dayak (2)


Pada Dayak Taman, tradisi telinga panjang itu tidak terkait dengan strata social tertentu. Tradisi ini khususnya untuk perempuan hanya sebagai identitas keperempuannya,” papar pakar hukum adat ini. Tetapi, kata Thambun, tradisi ini sudah ditinggalkan masyarakat Dayak Taman. “Ibu saya saja justru begitu datang ke Pontianak waktu itu meminta dipotong ujung daun telinganya karena khawatir nanti anak-anaknya malu”, ungkapnya. Menurut Thambun, memanjangkan telinga hanyalah salah satu tradisi menghias tubuh. Tradisi suku Dayak lainnya adalah membuat tato dan memasang gigi emas. Namun, dari ketiga tradisi menghias tubuh tersebut, hanya tato yang masih bertahan walaupun semakin kehilangan makna spiritualnya. Sedangkan membuat telinga panjang dan memasang gigi emas sudah ditinggalkan. "Tradisi memasang gigi emas bagi Dayak Taman untuk menunjukkan yang bersangkutan sudah merantau jauh, sebab gigi emas yang bagus cuma ada di Serawak dan Brunai Darussalam", tuturnya.

Mulai kapan tradisi telinga panjang ini ditinggalkan ?

Menurut Mering, ini tidak diketahui persis, namun diperkirakan sama dengan tradisi tato ketika mulai masuknya para misionaris kedaerah pedalaman diperkampungan Dayak pada zaman colonial Belanda dulu. Tradisi ini pun semakin terkikis habis ketika terjadi konfrontasi antara Indonesia dan Malaysia didaerah perbatasan Kalimantan. Saat ini berkembang stigma dimasyarakat, mereka yang berdaun telinga panjang dan tinggal dirumah-rumah panjang, yang dihuni beberapa keluarga, merupakan kelompok masyarakat yang tidak modern. Tidak tahan terhadap pandangan seperti itu, akhirnya beberapa warga memotong telinga panjangnya. Stigma semacam ini terus berlangsung hingga sekarang. Kalangan generasi muda Dayak tidak mau lagi membuat telinga panjang karena takut dianggap ketinggalan zaman dan tidak modern. Hanya sebagian kecil masyarakat Dayak yang masih memegang teguh tradisi berdaun telinga panjang dan itupun jumlahnya sangat minim.

MAKNA TATO BAGI MASYARAKAT DAYAK.

Jangan kaget jika masuk keperkampungan masyarakat Dayak dan berjumpa dengan orang-orang tua yang dihiasi berbagai macam tato indah dibeberapa bagian tubuhnya. Tato yang menghiasi tubuh mereka itu bukan sekedar hiasan, apalagi supaya dianggap jagoan, Tetapi, Tato bagi masyarakat Dayak memiliki makna yang sangat mendalam.

Tato bagi sebagian masyarakat etnis Dayak merupakan bagian dari tradisi, religi, status sosial seseorang dalam masyarakat, serta bisa pula sebagai bentuk penghargaan suku terhadap kemampuan seseorang. Karena itu Tato tidak bisa dibuat sembarangan. Ada aturan-aturan tertentu dalam pembuatan tato atau parung, baik pilihan gambarnya, struktur sosial orang yang di tato maupun penempatan tatonya. meski demikian, secara religi tato memiliki makna sama dengan masyarakat Dayak, yakni sebagai obor dalam perjalanan seseorang menuju alam keabadian, setelah kematian. Karena itu semakin banyak tato, obor akan semakin terang dan jalan menuju alam keabadian semakin lapang. Meski demikian, tetap saja pembuatan tato tidak bisa dibuat sebanyak-banyaknya secara sembarangan, karena harus mematuhi aturan-aturan adat.

Setiap sub suku Dayak memiliki aturan yang berbeda dalam pembuatan tato. Bahkan ada pula sub suku Dayak yang tidak mengenal tradisi tato ungkap Maring Ngo, warga suku Dayak yang juga antropolog lulusan Universitas Indonesia. Bagi suku Dayak yang bermikim diperbatasan Kalimantan dan Serawak Malaysia, misalnya, tato disekitar jari tangan menunjukkan orang tersebut suku yang suka menolong seperti ahli pengobatan.

Bagi masyarakat Dayak Kenyah dan Dayak Kayan di Kalimantan Timur, banyaknya tato menggambarkan orang tersebut sudah sering mengembara, karena setiap kampung memiliki motif tato yang berbeda, banyaknya tato menandakan pemiliknya sudah mengunjungi banyak kampung. Jangan bayangkan kampung tersebut hanya berjarak beberapa kilometer. Di Kalimantan, jarak antara kampung bisa ratusan bahkan ribuan kilometer dan harus ditempuh menggunakan perahu menyusuri sungai lebih dari satu bulan. Karena itu penghargaan pada perantau diberikan dalam bentuk tato, tutur Ketua II Persekutuan Dayak Kalimantan Timur (PDKT), Yacobus Bayau Lung. Bisa pula tato diberikan kepada para bangsawan. Dikalangan masyarakat Dayak Kenyah, motif yang lazim untuk kalangan bangsawan (paren) adalah burung enggang yakni burung endemik Kalimantan yang di keramatkan.

Adapun bagi Dayak Iban, kepala suku beserta keturunannya di tato dengan motif dunia atas atau sesuatu yang hidup diangkasa. Selain motifnya terpilih, cara pengerjaan tato untuk kaum bangsawan biasanya lebih halus dan detail dibandingkan tato untuk golongan menengah (panyen). Bagi sub suku lainnya, pemberian tato dikaitkan dengan tradisi mengayau atau memenggal kepala musuh dalam suatu peperangan. Tradisi ini sudah puluhan tahun tidak dilakukan lagi, namun dulunya senakin banyak mengayau, motif tatonya pun semakin khas dan istimewa.

Tato untuk sang pemberani dimedan perang ini biasanya ditempatkan di pundak kanan, Namun pada subsuku lainnya, ditempatkan dilengan kiri jika keberaniannya biasa, dan dilengan kanan jika keberaniannya dan keperkasaannya dimedan pertempuran sangat luar biasa. Pemberian tato yang di kaitkan dengan mengayau ini, dulunya sebagai bentuk penghargaan dan penghormatan suku kepada orang-orang yang perkasa dan banyak berjasa. tutur Simon Devung, seorang ahli Gayak dan Central for Social Foresty (CSF) Universitas Mulawarman Samarinda.

Tato atau parung atau betik tidak hanya dilakukan bagi kaum laki-laki, tetapi juga kaum perempuan. Untuk laki-laki, tato bisa dibuat dibagian manapun pada tubuhnya, sedangkan pada perempuan biasanya hanya pada kaki dan tangan. Jika pada laki-laki pemberian tato dikaitkan dengan penghargaan atau penghormatan, pada perempuan pembuatan tato lebih bermotif religius.

Pembuatan tato pada tangan dan kaki dipercaya bisa terhindar dari pengaruh roh-roh jahat dan selalu berada dalam lindungan Yang Maha Kuasa, ujar Yacobus Bayau Lung. Pada sub suku tertentu, pembuatan tato juga terkait dengan harga diri perempuan, sehingga dikenal istilah tedak kayaan, yang berarti perempuan tak bertato dianggap lebih rendah derajatnya dibanding dengan dengan yang bertato. Meski demikian, pandangan seperti ini hanya berlaku disebagian kecil sub suku Dayak. Pada suku Dayak Kayan, ada 3 macam Tato yang biasanya disandang perempuan, antara lain
  • Tedak Kassa, yakni meliputi seluruh kaki dan di pakai setelah dewasa.
  • Tedak Usuu, yakni tato yang dibuat pada seluruh yangan
  • Tedak Hapii. yakni pada seluruh paha.
Sementara disuku Dayak Kenyah, pembuatan tato pada perempuan dimulai pada umur 16 tahun atau setelah haid pertama. Untuk pembuatan tato bagi perempuan dilakukan dengan upacara adat disebuah rumah khusus. Selama pembuatan tato, semua pria tidak boleh keluar rumah. Selain itu seluruh keluarga juga diwajibkan menjalani berbagai pantangan untuk menghindari bencana bagi wanita yang sedang ditato maupun keluarganya.
Motif tato bagi perempuan lebih terbatas seperti gambar paku hitam yang berada disekitar ruas jari disebut Sang Irang atau Tunas Banboo. adapun yang melintang dibelakang buku jari disebut Ikor, Tato dipergelangan tangan bergambar wajah macan disebut silong lejau. Adapun tato yang dibuat dibagian paha, bagi perempuan Dayak memiliki pada bagian paha status sosialnya sangat tinggi dan biasanya dilengkapi gelang dibagian bawah betis. Motif tato dibagian paha biasanya juga menyerupai Silong Jelau. Perbedaannya dengan tato ditangan, ada garis melintang pada betis yang dinamakan nang klinge.  

Tato sangat jarang ditemukan dibagian lutut. Meski demikian ada juga tato dibagian lutut pada laki-laki dan perempuan yang biasanya dibuat pada bagian akhir pembuatan tato dibadan. Tato yang dibuat diatas lutut dan melingkar hingga kebetis menyerupai ular, sebenarnya anjing jadi-jadian atau disebut tuang buvong asu.

Baik tato pada laki-laki maupun perempuan, secara tradisional dibuat menggunakan duru buah jeruk yang panjang dan lambat laun kemudian menggunakan beberapa buah jarum sekaligus. Yang tidak berubah adalah bahan pembuatan tato yang biasanya menggunakan jelaga dari periuk yang berwarna hitam. Karena itu, tato yang dibuat warna warni, ada hijau, kuning dan merah, pastilah bukan tato tradisional yang mengandung makna filosofis yang tinggi. Ucap Yacobus Bayau Lung. Tato warna warni yang dibuat kalangan pemuda kini, hanyalah tato hiasan yang tidak memiliki makna apa-apa. Gambar dan penempatan dilakukan sembarangan dan asal-asalan. Tato seperti itu sama sekali tidak memiliki nilai religios dan penghargaan, tetapi cuma sekedar untuk keindahan dan bahkan ada yang ingin dianggap sebagai jagoan.

TATO, TRADISI YANG MULAI DITINGGALKAN.

Tradisi membuat tato bagi sebagian masyarakat Dayak kini mulai ditinggalkan. Kalau pun ada kalangan generasi muda Dayak yang membuat tato itu lebih disebabkan factor keindahan, Padahal dulu, tradisi ini sangat erat kaitannya dengan religi dan tidak bisa dilakukan sembarangan. Diperlukan upacara ritual sebelum melakukan tato. Motif dan penempatan tato pun tidak bisa dilakukan sembarangan tetapi harus mematuhi peraturan adat.

Kini aturan-aturan baku tersebut mulai ditinggalkan. Tidak diketahui persis sejak kapan tradisi membuat tato secara perlahan mulai ditinggalkan masyarakat. Menurut antropologi Mering Ngo, yang juga berasal dari suku Dayak, tradisi membuat tato tidak terlepas dari tradisi mengayau atau memenggal kepala musuh yang dulu sering dilakukan. namun sejak, dilakukan pertemuan Timbanganoi yang dihadiri para pemimpin suku pada zaman colonial Belanda awal tahun 1900-an, tradisi mengayau tidak lagi dilakukan. Datangnya agama semit pada masa penjajahan Belanda, ikut mendorong ditinggalkannya tradisi mengayau sehingga tradisi membuat tato pun perlahan-lahan tersisihkan.

Sekitar tahun 1930, tradisi mengayau tidak lagi dilakukan sehingga pembuatan tato pun semakin ditinggalkan, karena itu hanya orang-orang tua yang sudah uzur yang kini tubuhnya masih dihiasi tato-tato tradisional. Tato yang menghiasi generasi muda sekarang, bukan tato tradisional yang sarat makna, tetapi cuma tato hiasan, ungkap Simon Devung, ahli Dayak dari Central for Social Forestry Universitas Mulawarman Samarinda.

Ketua II Persatuan Dayak Kalimantan Timur (PDKT) Jacobus Bayau Lung menyebutkan, ditinggalkannya tradisi tato erat kaitannya dengan masalah sosial. Ditengah masyarakat sekarang berkembang persepsi, mereka yang di tato adalah jagoan dan bahkan seorang preman. Karena anggapan seperti ini, mereka yang di tato sulit mendapatkan pekerjaan. Khawatir sulit mendapatkan pekerjaan, laki-laki yang sudah dewasa akhirnya tidak mau menjalankan tradisi tato, ujar Yacobus Bayau Lung.
Sumber : Kompas, Jum'at 22 Oktober 2004 (Tanah Air)

Author :

"BALIKPAPAN PUSTAKA". Pangkalan Data dan Informasi - memperkenalkan Potensi dan Pesona Kota Balikpapan dimata dunia. Dengan merujuk pada aspek Geografi, Geopolitik (Negara), wilayah Administratib (Pemerintah daerah) serta konten lain seputar Kota Balikpapan. Saat ini Anda baru saja membaca artikel berjudul : Karakteristik/Tradisi Suku Dayak (2).
Share Artikel

Artikel Terkait