Pulau Datu adalah sebuah pulau kecil yang terdapat didekat Pantai Batakan, Kecamatan Penyipatan, Tanah Laut, Kalimantan Selatan. Dinamakan Pulau Datu karna di pulau tersebut terdapat makam seorang Datu (Sunan/Penyebar agama Islam) yang di kenal dengan sebutan Datu Pamulutan, yang dahulu punya kegemaran menangkap burung dengan pulut (getah).
Datu Pamulutan ini bukan nama asli beliau, melainkan hanya sebutan/gelar saja yang diberikan masyarakat, karena semasa hidup beliau suka memulut (cara berburu dengan menggunakan getah, biasanya untuk berburu unggas/burung). Menurut cerita warga setempat dahulunya Pulau Datu dan Pantai Tanjung Dewa merupakan satu kesatuan, namun karena proses alam maka akhirnya Pulau Datu dan Pantai Tanjung Dewa terpisah. Jika kita ingin ke Pulau Datu, kita tinggal menyewa perahu yang ada disana. Kita tidak perlu merogoh kocek dalam-dalam, karena biayanya tidak mahal.
Berdasarkan kalender wisata, pada bulan Maret akan di laksanakan haul Datu Pamulutan di desa Tanjung Dewa tersebut. Selain kita bisa menikmati waisata alam kita juga bisa menikmati wisata religius disana. Bagi yang beruntung, disekitar Pulau Datu juga akan ditemui beberapa ikan lumba-lumba yang berkeliaran. Di dalam Manaqib Datu Pamulutan disebutkan bahwa Datu Pamulutan sebenarnya bernama Sultan Hamidinsyah, yang berasal dari Batang Banyu Mengapan, Martapura, sehingga nama M. Thaher merupakan nama samaran dalam menjalankan tugas sebagai wali (Hamba Allah).
Sultan Hamidinsyah ini mempunyai adik, bernama Sultan Ribuansyah, yang juga seorang pengemban da'wah, Dalam menyebarkan Islam mereka menempuh jalan masing-masing. Sultan Hamidinsyah (Datu Pamulutan) ke arah Timur dan adiknya kearah Barat, Datu Pamulutan mempunyai seorang murid setia yang selalu mengiringi perjalanan beliau, namanya H. Syamsuddin, yang bernama asli Bamasara. Syamsuddin, menurut pendapat sebagian orang adalah penduduk asli Tanjung Dewa yang juga dimakamkan di Pulau Dewa, posisinya lurus dihunjuran(bagian kaki) makam gurunya. Didalam kubah Datu Pamulutan, masih ada dua makam lainnya, yaitu : Makam H. Abdussamad dan H. Jafri, mereka adalah dua bersaudara dan mereka adalah guru agama dan pada saat wafatnya juga berpesan agar di makamkan di Pulau Datu. Datu Pamulutan selama hidupnya senantiasa melaksanakan tugas dan kewajibannya sebagai seorang wali untuk menyebarkan agama, Ia juga memiliki jiwa Patriotisme dan heroisme, terbukti dengan perannya dalam mengkoordinir masyarakat Desa Tanjung Dewa untuk mengusir penjajah Portugis.
Kemudian, dari semua kegiatan yang patut dicatat selama hidupnya, Datu Pamulutan mampu membagi waktunya untuk tiga kegiatan, yang mana tiga kegiatan itu bukan pekerjaan mudah, yaitu : Menyebarkan Agama kepada masyarakat, mengkoordinir masyarakat untuk melawan penjajah yang akan mendarat melalui Pantai Muara Tanjung Dewa dan sekitarnya. Juga tetap menjalankan hobinya memulut (Menjebak) burung di daerah Tanjung Dewa, sehingga dari sinilah Ia mendapat gelar sebagai Datu Pamulutan.
Dalam perjuangan melawan penjajah yang sudah sempat memasuki Kota Bandarmasih. Ia mempunyai anak buah, Patih Mulur dan Pati Matis yang bertugas di daerah Pulau Pinang, Datu Saliwah yang mempunyai ciri muka hilang sebelah di Tabuniu, Pangeran Penyapu Rantau, Datu Sumpit Gunung Dewa, Panglima Dumalik Kandangan Lama di Kandangan Lama mempunyai sebuah senjata sakti, yaitu Parang Jarum, karena senjata itu terbuat dari sekarung jarum. Patih Singa di Tabjung Selatan, Patih Arjan didaerah perbatasan Sebuhur, yang cukup menonjol dalam hal masalah fanatisme beragama, benar-benar melaksanakan antara yang halal dan yang haram, yang suci dan yang najis. sehingga sebelum Belia wafat sempat berpesan, bila kelak di panggil oleh Allah, agar Ia dikuburkan didesa Tanjung Dewa.
Setelah berpesan, Beliau menggaris batas tanah dengan ibu jari kakinya, untuk membatasi tanah agar tidak tercemar dari hal-hal najis, seperti di kencingi anjing, apalagi sampai di injak penjajah kafir. Disinilah tampak keramat beliau, tanah yang di garis lambat laun menjadi sungai kecil dan akhirnya menjadi lautan, sehingga tanah yang digaris jadi pulau tersendiri.
Datu Pamulutan wafat dan di makamkan di Pulau Datu tahun 1817 Masehi, sedangkan muridnya menyusul 8 tahun kemudian (tahun 1825 Masehi). Sebenarnya Ia wafat di desa tempat tinggalnya di Martapura, namun karena pesannya sebelum wafat, maka kemudian ketika ia wafat di makamkan di Tanjung Dewa, hal ini juga di karenakan jalan waktu itu masih belum seperti sekarang, maka jenazahnya dibawa lewat sungai, kemudian menyisir laut dengan menggunakan sampan. Disini terlihat kembali keramatnya, sampan yang menurut pandangan orang awam, bukanlah sampan yang layak untuk mengarungi lautan, Karena kecil dan bocor, sehingga ragu, apakah sampai atau tidak. Namun dengan ridho dan rahmat Allah, akhirnya sampai bisa sampai ke Tanjung Dewa.
Sampai sekarang, tanah yang menjadi makam beliau terpisah dari daratan, berjarak sekitar 1,2 - 1,5 kilometer. Sekarang sudah ada dermaga yang cukup sederhana. Pengelola makam sendiri di lakukan oleh pihak ahli waris dan kerabat H. Syamsudin muridnya. Makam Keramat itu juga sudah menjadi tempat wisata religius, memanjatkan do'a untuk dirinya. Namun karena letaknya didekat waisata Batakan. Kondisi tersebut memungkinkan masyarakat sekitar untuk mendapat penghasilan tambahan, yaitu mengantar peziarah menyebrang dengan menggunakan perahu.